“Masa Lalu Adalah Cermin, Bukan Penyesalan”
Usia muda kumanfaatkan untuk merasakan narkoba. Hingga kulminasi titik jenuh meradang dan menyerang. Menikah demi sebuah kesembuhan dan harapan yang lebih baik. Kehadiran seorang anak meruntuhkan kesombonganku.
Bening Yoga Yosua Pratama Putra. Anak pertamaku yang suci dari Tuhan. Sebuah anugrah yang tidak pernah kubayangkan dan mampu mengubah jalan kehidupanku. Namaku Gandi Arbiyanto. Cukup Gandi untuk mengenalku. Aku penjual majalah di bagian belakang kampus Universitas Satya Wacana Salatiga.
Yah, aku orang Salatiga. Istriku juga asli Salatiga sehingga anak-anakku bisa disebut sebagai anak Salatiga. Istri? Yah, dengan umur yang sudah 25 tahun rasanya aku pantas punya istri yang sudah memberi dua orang anak. Anak pertamaku berusia empat tahun pada 8 Januari yang lalu. Setahun yang lalu anak keduaku, Jingga Abraham Andrea Diaulhaq, lahir dengan selamat dan menambah semangatku untuk mengubah kehidupan. Semangat untuk makin memperbaiki diri. Sebuah sinar harapan dari anak yang terkasih.
Aku sudah mencoba berbagai macam minuman keras dan obat-obatan terlarang sejak berusia 14 tahun. Masih muda, tetapi aku melakukan sebuah pilihan. Dan aku memilih untuk mencoba dunia hitam itu. Jangan tanyakan keluarga padaku. Mereka memberi kebebasan lebih. Aku berhak memilih jalan sendiri. Apa yang ingin aku lakukan dan apa yang aku pikirkan tidak pernah terbatas, terlalu bebas. Tetapi pasti akan selalu ada konsekuensi untuk semua itu. Dan aku menerimanya. Termasuk menjadi target operasi (TO) pihak kepolisian.
Aku pernah sekolah. Setidaknya sampai lulus STM. Melanjutkan ke tingkat yang lebih lanjut? Tidak. Tidak berminat lebih tepatnya. Aku sudah kelelahan berpikir di dalam sebuah ruang kelas dan menyerap segala ilmu yang menurut aku tidak ada gunanya. Aku memilih bekerja menjadi seorang penjaga rental computer. Sambil tetap berkutat dalam dunia hitam tentunya.
Merokok. Berjudi. Meminum minuman keras. Narkotika. Obat-obatan terlarang. Tawuran. Kekerasan. Sakaw. Mencuri.
Jika Anda punya kata-kata lain yang mampu mendeskripsikan segala sesuatu yang harus dilakukan untuk mengetahui kerasnya dunia hitam, aku ingin meminjamnya untuk melengkapi kalimat pertamaku. Yah, demikian hitam hidupku. Jelek. Kotor. Penuh dosa. Dan tidak berharga. Aku sudah mencoba semuanya hingga aku berada di satu titik jenuh.
Umur 19 tahun, aku mengalami sebuah titik jenuh. Bangun tidur - konsumsi narkoba - main keluar rumah - konsumsi narkoba – kerja - konsumsi narkoba - pulang kerja - konsumsi narkoba - kumpul dengan teman-teman - konsumsi narkoba – pulang ke rumah - konsumsi narkoba – tidur . Rutinitas yang sama sejak lulus STM berkumpul di satu titik kulminasi kejenuhan!
Aku ingin berkembang. Aku ingin berubah.
Perlahan kutinggalkan teman-temanku dengan sedikit rasa takut. Rasa takut untuk dikucilkan dan dianggap musuh setelah sekian lama kesolidaritasan terbentuk dalam dunia hitam. Aku ingin berubah dan aku melakukan segala cara untuk bisa bertahan. Hingga aku bertemu dengan Ina Afriyanti.
Dialah mantan pacarku. Istriku yang sah dan berusia lebih tua empat tahun dariku. Baru sebulan berkenalan dengannya, aku merasakan kedekatan yang memberi harapan. Aku kembali mengambil keputusan yang merupakan sebuah pilihan.
Menikah.
Bukankah hidup memang penuh pilihan? Dan aku memutuskan untuk menikah sebagai sarana rehabilitasi. Aku ingin sembuh tanpa bantuan dokter ataupun cara pengobatan alternative. Aku ingin sembuh secara alami, aku ingin benar-benar sembuh. Benar-benar sembuh!
Beruntungnya aku yang bisa mengenalnya lebih dekat hingga ke jenjang pernikahan tanpa hambatan. Keluarganya yang mendukung keinginanku untuk berubah, rela memberikan anak perempuannya padaku untuk kesembuhanku. Menjadi pemacu semangatku dan harapanku dalam meraih kehidupan yang lebih baik.
Keberuntunganku makin meyakinkan aku akan jalan Tuhan. Dia benar-benar menginginkan aku sembuh. Sayangnya setelah menikah aku tidak berhasil lepas dari dunia itu. Sulit sekali. Sangat sulit. Tak jarang aku terpaksa pergi ke kost teman untuk mencari tempat sakaw supaya tidak dilihat oleh istriku. Aku tak ingin mengecewakannya. Aku sangat mencintainya. Melihat pengorbanannya padaku, aku merasa menjadi orang paling bodoh apabila aku tidak memperdulikannya.
Akhirnya aku mendengar kabar istriku hamil. Aku mulai mengurangi keterlibatanku dengan dunia hitam. Demi sebuah keluarga yang aku impikan. Hingga anak pertamaku lahir. Aku melihat sendiri bagaimana dia keluar dari perut ibunya. Seperti ada mantra yang menyihirku, aku terkoyak. Sendi-sendiku lemas. Hatiku remuk. Tulangku lunak. Berdiri saja aku tak mampu. Aku menangis.
Menangisi kebodohan yang telah aku buat. Aku menyia-nyiakan kehidupanku.
Melihat perjuangan istriku untuk melahirkan darah dagingku dan melihat anakku yang memiliki sebagian darahku, aku menangis. Aku menjerit kepada Tuhan. Memohon ampun atas kesalahanku dan membuat perjanjian dengannya. Aku berhenti dari dunia hitam sejak saat itu.
Sebuah pembelajaran. Tanggung jawab. Aku seorang laki-laki yang mempunyai istri dan anak. Aku tidak bisa hidup seperti ini. Mulailah aku berjualan buku, majalah, dan koran untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aku juga melakukan berbagai pekerjaan sambilan lain seperti mendekor acara pernikahan dan berjualan koran keliling. Aku melakukan apa saja demi sesuap nasi asalkan itu halal. Demi keluargaku.
Sejak memiliki anak kedua, aku melarang istriku bekerja supaya dia bisa mengurus anak-anakku dengan tenang. Aku ingin kedua buah hatiku mendapatkan ajaran terbaik dari orang tuanya. Walaupun nantinya aku memilih membebaskan kehidupan anakku, aku tetap memberikan benteng pertahanan berupa ajaran agama. Dan tetap membiarkan anakku memilih kehidupannya sendiri.
Aku tidak menyesal berada dalam dunia hitam itu. Aku tidak menyesal telah meninggalkannya. Aku tidak menyesal akan kehidupanku yang lalu. Aku bahagia pernah mengalami masa pembelajaran yang berharga, karena masa lalu adalah cermin, bukan penyesalan.
Salatiga, 7 Agustus 2008.
No comments:
Post a Comment